Ribuan Warga Bengkulu Saksikan “Arak Gedang”

Bengkulu (ANTARA News) – Ribuan warga Bengkulu menyaksikan “arak gedang” atau pawai akbar pada perayaan ritual tabot di daerah itu pada 9 Muharam 1432 Hijriah atau bertepatan pada 15 Desember 2010.

“Arak gedang malam ini diikuti sebanyak 39 tabot yang terdiri atas 17 tabot ritual, 16 tabot turutan dan enam tabot pembangunan,” kata Ketua Kerukunan Keluarga Tabot (KKT) Bengkulu Syaiful Hidayat, Rabu.

Ia mengatakan, tabot ritual adalah tabot yang hanya dibuat oleh keturunan keluarga tabot, sedangkan tabot turunan dibuat oleh pihak swasta dan tabot pembangunan dibuat oleh instansi pemerintah.

“Khusus tabot ritual sebelum mengikuti arak gedang dilakukan ritual `naik pangkek` atau menaikkan `jari-jari` ke puncak bangunan tabot. Ritual naik pangkek dilakukan setelah shalat Ashar di gerga (markas) Imam dan gerga bangsal,” ujarnya.

Tabot yang telah dilengkapi “jari-jari” yang bermakna sebagai simbol jasad cucu Nabi Muhamad SAW yakni Husien lalu diarak menuju Jalan Ahmad Yani Kota Bengkulu untuk mengikuti ritual arak gedang dan disandingkan dengan puluhan tabot lainnya.

“Arak gedang tahun ini diikuti oleh tabot yang berukuran tinggi tiga sampai enam meter. Tabot yang berwarna warni tersebut semakin meriah dan menarik perhatian karena dipasang lampu kerlap kerlip sehingga sangat indah dilihat pada malam hari,” katanya.

Ia menjelaskan, untuk menambah variasi tabot juga ditambah dengan hiasan antara lain berbentuk kuda terbang buraq, burung, dan hewan lainnya.

“Biaya pembuatan satu unit tabot yang berkualitas termasuk tinggi dan mencapai belasan juta rupiah karena membutuhkan waktu sekitar 20 hari untuk membuatnya,” katanya.

Berdasarkan pantauan, meski suasana ritual arak gedang, Rabu malam ini diwarnai hujan deras, namun tidak menyurutkan semangat ribuan warga Bengkulu datang ke lokasi untuk menyaksikan ritual yang hanya dilakukan satu kali dalam setahun tersebut.

Bagi keluarga keturunan tabot di Bengkulu, ritual itu harus tetap dilaksanakan setiap tahun karena dipercaya akan mendatangkan musibah atau bencana bila tidak dilaksanakan.

Upacara tabot dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat Bengkulu untuk menyambut Tahun Baru Hijriah dan memperingati gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW bernama Husien dalam perang di Padang Karbala Irak.

Tabot yang berarti peti mati adalah lambang peti yang berisi jenazah Husien yang diarak keluarga tabot Bengkulu untuk mengikuti ritual tabot tebuang pada 10 Muharam atau Kamis (16/12) menuju pemakaman Kara Bela yang mencerminkan kawasan Karbala di Irak.(*)
(ANT-213/B/I016/R009)

View the original article here

Ribuan Warga Antre Nasi Tradisi Buka Luwur

Kudus (ANTARA News) – Ribuan warga berasal dari sejumlah daerah di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Kamis pagi, rela kehujanan saat antre untuk mendapatkan nasi “uyah asem” dan “jangkrik goreng” pada tradisi ritual “Buka Luwur”.

Antrean warga yang memadati kompleks Makam Sunan Kudus terjadi sejak pukul 03.00 WIB, karena khawatir tidak mendapatkan nasi “uyah asem” dan nasi “jangkrik goreng” yang mereka percaya membawa berkah.

Tradisi “Buka Luwur” yang diselenggarakan setiap 10 Muharam 1432 Hijriah atau bertepatan dengan Kamis (16/12) itu merupakan ritual keagamaan untuk menandai penggantian kelambu di Makam Sunan Kudus.

Mansur (36), salah seorang warga berasal dari Gebog, Kudus, mengaku, dirinya antre untuk mendapatkan sebungkus nasi “uyah asem” dan nasi “jangkrik goreng” sejak pukul 04.00 WIB, bersama istri dan seorang anaknya yang masih balita, meskipun pembagian nasi baru dimulai pukul 05.30 WIB.

“Saya sengaja datang lebih awal untuk menghindari antrean panjang, guna mendapatkan nasi `uyah asem` atau nasi `jangkrik goreng`,” ujarnya.

Meski datang lebih pagi, katanya, antrean warga sudah cukup panjang untuk mendapatkan sebungkus nasi tersebut.

Seorang warga Lamongan, Annisa (18), mengaku, rela antre dan berdesak-desakan untuk mendapatkan berkah Sunan Kudus melalui nasi bungkus yang dibagikan kepada masyarakat itu.

“Saya sudah dua kali mengikuti kegiatan ini,” ujarnya.

Kedatangannya ke kompleks Makam Sunan Kudus itu bersama dua temannya yang merupakan siswa Madrasah Aliyah Banat Kudus.

Warga yang membawa serta anak balita tidak hanya beberapa orang, bahkan jumlahnya cukup banyak.

Hujan yang sempat mengguyur kompleks makam terlihat tak menyurutkan niat warga untuk ikut merebutkan nasi yang hanya dibuat setiap 10 Muharam.

“Kedatangan saya bersama anak hanya ingin mendapatkan berkah dari Sunan Kudus,” ujar seorang warga lainnya, Siti Zaenah (39), yang datang ke tempat itu bersama anaknya berusia 2,5 tahun.

Nasi bungkus yang mereka peroleh dari prosesi “Buka Luwur” itu tidak hanya dimakan, tetapi sebagian digunakan untuk pupuk tanaman.

Padatnya antrean membuat sejumlah warga jatuh pingsan, sehingga harus ditandu keluar dari ribuan warga antre itu.

Tim medis panitia tradisi Buka Luwur, Imam, mengatakan, jumlah warga yang pingsan mencapai 21 orang yang didominasi perempuan, empat di antaranya anak-anak, selebihnya orang tua.

Panitia buka luwur berupaya mengatur warga yang antre agar tidak berdesak-desakan dengan membagi antrean dari sepanjang Jalan Menara menjadi dua antrean khusus untuk laki-laki dan perempuan.

Namun, antrean panjang tetap terjadi mengingat jumlah warga yang datang ke lokasi hingga pukul 08.00 WIB semakin bertambah.

Jumlah nasi bungkus yang disediakan untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar 29.000 bungkus, ditambah 1.000 bungkus keranjang dari anyaman bambu untuk tamu antara lain tokoh masyarakat, kiai, pejabat, pekerja, panitia, relawan, dan penyumbang.

Nasi bungkus yang disediakan terdiri atas dua jenis yakni nasi “jangkrik goreng” dan “uyah asem”.

Menu nasi “uyah asem” adalah daging kerbau tanpa kuah, sedangkan menu nasi “jangkrik goreng” dilengkapi kuah “tetelan” daging kerbau.

Jumlah beras yang dimasak hingga 6,5 ton, kerbau 11 ekor, dan kambing 73 ekor. Pekerja yang bertugas di dapur mencapai puluhan orang, sedangkan jumlah relawan mencapai 700 orang.

Daun jati yang disediakan berjumlah puluhan ikat dengan jumlah per ikat mencapai 700 lembari.
(AN/B010)

View the original article here